"Kok anak kita tidak pernah terlambat?" demikianlah ucapan ust. Jinan seorang trainer Skill Parenting KPI Surabaya kepada istrinya. Menurutku, pertanyaan beliau cukup aneh. Bukankah seharusnya orangtua merasa senang kalau anaknya disiplin. Tapi tidak halnya dengan ust. Jinan. Setelah lama ia berfikir, akhirnya sampailah pada sebuah kesimpulan. Ternyata kita yang terlalu sayang kepada anak kita. Setiap pagi ia selalu sibuk mengingatkan anaknya untuk memenuhi urutan jadwal harian. Dari sholat subuh, mandi, mengenakan seragam, sarapan, dan berangkat ke sekolah. Sehingga anak-anaknya melakukan semua tuntutan jadwal karena disuruh. Dan wajar saja, kata terlambat tidak pernah mampir di kamus hidup mereka. Tapi bukan itu yang dinginkannya. ia ingin anaknya melakukan segala kewajibannya dengan penuh kesadaran. Setelah lama berdiskusi dengan sang istri, maka mereka pun sepakat untuk tidak lagi menyuruh anaknya untuk memenuhi jadwalnya.
"Ummi, mulai senin depan kita nggak usah nyerewetin mereka lagi," katanya tegas.
Setelah sholat maghrib pada minggu malam, ust. Jinan segera mengumpulkan seluruh anggota keluarganya.
"Mas, Abi mau tanya, Setelah sholat subuh apa yang harus dilakukan?"
"Mandi Bi," jawab anak pertama.
"Lalu?" tanyanya lagi
"Pakai seragam trus cek buku yang harus dibawa," jawab anak kedua.
"habis itu sarapan dan berangkat ke sekolah," ujar anak yang ketiga.
"Bagus, kalian semua sudah tau apa yang harus dilakukan. Mulai besok Abi dan ummi tidak akan mengingatkan jadwal kalian lagi. lakukan semuanya sesuai jadwal."
Tibalah masa yang dinanti-nanti. Setelah sholat subuh, anak pertama segera mengambil komik naruto kesayangannya. Sedangkan anak kedua asyik bermain bola bersama adiknya. Melihat hal itu, hati ust Jinan dan istrinya bergemeretak.
"Abi, kalau tidak diingatkan, mereka pasti akan terlambat," ujar istrinya cemas.
"Sudahlah mi, kita kan sudah sepakat," sahut ust, Jinan mencoba menenangkan istrinya. Sebenarnya hatinya juga gelisah. Tapi kalau ia tidak konsisten dengan ucapannya, anaknya tidak akan pernah berubah.
Pukul 06.15 wit seyogyanya ia harus memanaskan mesin mobil untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Namun sepertinya tidak ada tanda-tanda siap berangkat dari ketiga buah hatinya. Akhirnya pukul 06.40 pagi, baru mereka berangkat ke sekolah. Sepanjang jalan ketiga buah hatinya sibuk bercanda tanpa menyadari kalau sebenarnya mereka sudah terlambat. Dan benar saja, begitu mendekati lokasi sekolah mereka panik luar biasa.
"Abi, kok teman-temanku sudah nggak ada?" tanya anaknya yang pertama heboh. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. ia hanya tersenyum sambil terus memacu mobilnya memasuki halaman sekolah. Dengan tergesa-gesa ketiga anaknya berlari menuju pintu masuk sekolah. Ust. Jinan hanya melambaikan tangannya dan tersenyum kemudian berlalu meninggalkan sekolah. sejenak ia melihat anak-anaknya masuk ke barisan siswa yang terlambat. Tidak sedikitpun ia menyesali tindakannya.
Miftahul Jinan |
"Aaah, gara-gara abi, kita-kita pada dihukum karena terlambat," gerutu anaknya ketiga ia menjemput pulang dari sekolah. Agak kesel juga sih. namun ia tetap diam seribu bahasa. "Yang waras ngalah" begitu katanya di dalam hati.
Pada malam harinya, kembali ia mngumpulkan seluruh anggota keluarganya untuk mengevaluasi kegiatan sepanjang hari ini. akhirnya mereka mengakui kesalahannya masing-masing. Esok harinya, ketiga anaknya jadi lebih berhati-hati. malahan sang kakak sibuk ngomelin adiknya yang terlalu lamban. Memang hari itu mereka tidak terlambat, tapi tetap saja tidak ada kemajuan. Mungkin ia tidak perlu repot mengingatkan anak-anaknya lagi, namun sekarang gantian kakaknya yang ngomel. kalau begitu hasilnya sama saja khan? tetap saja melakukan sesuatu karena disuruh, padahal bukan itu maksudnya. Maka diputuskan, tidak ada yang sibuk dengan urusan orang lain. setiap orang hanya melakukan tugasnya masing-masing.
Pada hari ketiga, sang kakak sudah siap berangkat sesuai jadwal yang ditetapkan, sedangkan sang adik tetap saja telat. Sikap tegas harus tetap dijunjung. Karena adiknya belum siap, sang kakak diantar lebih dahulu ke sekolah, kemudian menjemput sang adik. lelah memang, capek sudah tentu. tapi tahapan ini harus dilaluinya, atau anaknya tidak akan pernah tepat waktu selamanya. Tentu saja hari itu sang adik terlambat. Tapi setelah itu bahkan hngga kini, ia benar-benar tidak perlu repot mengingatkan anak-anaknya untuk menepati jadwal yang sudah disepakati.
Pelajaran yang dapat diambil:
"Kita harus tega membiarkan anak kita gagal/diberi sanksi untuk mendapatkan hasil yang maksimal"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar